Kanjeng Ratu Kidul Adalah
Mitos dan upaya untuk menjaga keseimbangan alam
Selain mitos Kanjeng Ratu Kidul, terdapat juga pantangan lainnya, semisal dilarang menggunakan pakaian hijau di wilayah Pantai Selatan. Dipercaya, siapapun yang menggunakan pakaian berwarna hijau akan ditangkap oleh pasukan Laut Pantai Selatan.
Laut Selatan diselimuti banyak misteri karena ganasnya laut menimbulkan berbagai kecelakaan di sana, namun mitos bahwa insiden di laut berhubungan dengan Ratu Kidul sebetulnya bisa dijelaskan secara ilmiah.
Perlu diketahui, bahwa pada samudra yang luas warna air di dekat daratan berkisar antara biru, hijau dan bahkan hijau kekuning-kuningan. Pantai Selatan sendiri merupakan bagian dari Samudra Hindia yang dekat dengan Kepulauan Jawa.
Selain itu, melansir Super Adventure, warna hijau dapat membuat hiu melakukan serangan. Pasalnya warna hijau dapat menjadi sinyal bagi hiu untuk melepaskan serangan. Lain lagi menurut Aryono dari Historia.id, berdasarkan beberapa kajian, banyak korban berjatuhan di sana karena arusnya memang kencang.
Baca juga Menikmati 5 Padang Pasir Indah di Nusantara
"Kalau bawa botol kosong, lemparkan ke salah satu sudut laut, jika botol terapung dan kembali ke pantai, arus lautnya minimal. Kalau botol terus terbawa ke tengah laut, lokasi itu punya arus laut tinggi."
Begitu pula tentang larangan memakai baju hijau di pantai selatan yang konon disebabkan warna itu identik dengan Ratu Kidul.
Mengutip Pram, Aryo mengatakan warna hijau identik dengan seragam VOC. Larangan itu dibuat agar orang-orang melupakan keterkaitan antara warna hijau dengan seragam VOC, katanya.
Kendati demikian, sejarawan Ong Hok Ham, menilai hal itu masih dalam taraf wajar. Kata Ong, mitos Nyi Roro Kidul merupakan mitos yang positif. Penciptaan mitos dan pemanfaatnya jelas untuk melanggengkan kekuasaan Mataram. Bahkan Ong menambahkan hal itu adalah hal yang biasa terjadi, baik di masa lalu maupun masa kini.
“Mitos Nyi Roro Kidul justru memperkuat legitimasi raja. Hal ini berlainan dengan orang kaya yang berhubungan dengan Nyi Blorong. Yang disebut terakhir adalah negatif, sedangkan yang pertama, yakni hubungan Raja Mataram dengan Nyai Roro Kidul adalah positif. Demi kian pula dengan roh halus lain yang melindungi Raja Mataram, yakni Sunan Lawu di Gunung Lawu,” tulis Ong Hok Ham dalam buku ''Dari soal priyayi sampai Nyi Blorong'' (2002), yang dikutip dari VOI.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News
Seperti ditulis pada artikel sebelumnya, Tafsir Jawa atas Kuasa dan Kekuasaan, pandangan kosmologi Jawa meyakini adanya kesejajaran antara makrokosmos (jagat gede) dan mikrokosmos (jagat cilik).
Menurut kepercayaan ini, keseluruhan tatanan sosial yang terdiri dari masyarakat luas di luar benteng kraton, para abdi dalem, dan lapisan kelompok para priyayi, serta berpuncak hirarkis pada diri raja, pada derajat tertentu merupakan representasi kosmis itu sendiri. Sekalipun dimaknai demikian, secara simultan tatanan sosial juga selalu berada di bawah pengaruh daya-daya kosmis alam semesta.
Dalam kerangka konsepsi Dewa-Raja atau Ratu-Binanthara inilah, kesanggupan seorang raja untuk mengharmoniskan keseluruhan tatanan sosial dan sekaligus daya-daya kosmis alam semesta, ialah kata kunci bisa atau tidaknya menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Sedangkan bicara perihal daya-daya kosmis, selain didasarkan pada wahyu, daya kosmis lainnya ialah restu para leluhur tanah Jawa dan pusaka. Dalam konteks inilah, bicara restu leluhur tanah Jawa sudah tentu bukan hanya satu dan tunggal. Namun begitu, salah satu mitos yang diyakini kuat oleh masyarakat Jawa ialah Kanjeng Ratu Kidul.
Bagaimana menonjolnya mitos Kanjeng Ratu Kidul atau disingkat KRK, tanpa mengenal mitos ini orang tidak bakalan dapat memahami makna tarian sakral Bedhaya Ketawang; juga makna artefak bangunan Panggung Sanggabuawana di Kraton Surakarta; tak kecuali adanya folklore tentang jin bernama lampor maupun ritus sedekah laut yang lazim dilakukan masyarakat Jawa di sepanjang daerah pesisir Samudra Hindia.
Jejak-jejak Diskrusif
Merujuk artikel Robert Wessing yang berjudul “A Princess from Sunda: Some Aspects of Nyai Roro Kidul,” Asian Folklore Studies Vol. 56 tahun 1997, setidaknya ditemui beberapa versi sejarah. Menurut Wessing, sebagai seorang putri Sunda, umumnya KRK diceritakan sebagai puteri penguasa kerajaan Pajajaran di Jawa Barat, meskipun perihal siapa ayahnya ada beberapa nama mengemuka. Ada yang menyebutkan KRK ialah putri dari Prabu Mundingsari, lainnya menyebut nama Prabu Munding Wangi, atau juga disebut nama Prabu Siliwangi maupun Prabu Cakrabuwana.
Selain Pajajaran, cerita lain mengisahkan asal-usul KRK ialah kerajaan Galuh. Prabu Sindhula dari abad ke-13 merupakan ayahnya. Tempat asal lainnya yang disebutkan ialah kerajaan Kediri di Jawa Timur, saat diperintah oleh “Notradamus Jawa” yaitu yang legendaris, Raja Jayabaya; atau bahkan berasal dari kerajaan yang lebih tua, Kahuripan, diperintah oleh Raja Airlangga juga berlokasi di Jawa Timur. Namun demikian dari semua kisah itu, bagaimanapun kerajaan Pajajaran merupakan asal-usul KRK yang paling sering disebutkan.
Bagaimana kisah terjadinya transformasi dari seorang putri menjadi Dewi Samudra juga muncul banyak versi. Kisah paling umum menuturkan, dia adalah seorang puteri cantik yang, karena sihir ibu tirinya yang jahat dan cemburu, terjangkit penyakit kulit. Sakit kulit itu membawa bau yang menjijikkan sehingga memaksanya meninggalkan istana, dan pergi mencari perlindungan ke hutan. Beberapa kisah mengatakan, dibalut duka yang mendalam puteri itu lalu bermeditasi dan moksha.
Merujuk Poerbatjaraka dan Woodward, Wessing mencatat versi lain. Konon diceritakan, permaisuri raja Galuh melahirkan anak perempuan. Keanehan muncul, ia laiknya Yesus sejak usia bayi sudah dapat bicara dan berkata:
“Aku Ratu Ayu, akulah penguasa semua lelembut di Tanah Jawa. Istanaku berada di Laut Kidul.”
Raja Sidhula, yaitu raja Galuh yang telah lama meninggal, dikisahkan kemudian muncul memberi tanda dan bersabda bahwa puteri itu ialah cucunya. Untuk menjaga kesuciannya dia tidak akan pernah menikah hingga nanti tiba saatnya seorang raja Muslim muncul dan memerintah Jawa. Sosok inilah yang nanti jadi suaminya.
Menunggu dua abad lebih, hingga suatu saat datanglah Panembahan Senapati, pendiri wangsa Mataram-Islam. Historigrafi Jawa yaitu Babad Tanah Jawa meriwayatkan, bagaimana Panembahan Senopati mula pertama bertemu dengan KRK. Pertemuan yang bermuara menjadi hubungan percintaan ini mengawali kisah, di mana KRK bukan hanya menjadi “istri” Panembahan Senopati, melainkan juga raja-raja Mataram-Islam penerusnya.
Awalnya dikisahkan dia pergi bertapa di Sungai Opak (bahasa Jawa: kungkum), lalu berenang (tapa ngeli) ke arah muara hingga mencapai Pantai Selatan. Sampai di sana Panembahan Senapati meneruskan bertapa dan memohon petunjuk untuk memenangkan peperangan melawan Sultan Hadiwijaya di Pajang. Konon, berkat ketekunan bertapa membuat Samudera Hindia bergolak. Istana gaib tempat singgasana KRK menjadi porak-peranda karena kekuatan meditasi sang pemuda itu.
Walhasil, KRK pun muncul. Namun pucuk dicinta ulam tiba, KRK justru tertegun dan terpesona melihat seorang pemuda gagah tengah bermeditasi. Dia langsung jatuh hati dan bersimpuh di kaki Panembahan Senapati. Setelah bercinta tiga hari tiga malam di istana gaib Laut Selatan, KRK berjanji akan membantu Penembahan Senapati dan anak cucu keturunannya.
Menurut De Graaf, Ki Ageng Pemanahan tercatat meninggal di tahun 1583, dan sebagai gantinya ialah putranya Panembahan Senopati. Jika pembacaan De Graaf itu valid, menarik disimak pernyataan Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang berkuasa pada 1940–1988, terhitung hampir berselang empat abad kemudian sejak Panembahan Senopati.
Dalam biografinya “Tahta untuk Rakyat” yang disusun oleh Atmakusumah (editor), ketika diwawancarai dan ditanya apakah benar dia adalah "suami" dari KRK dan apakah pernah "berhubungan" dengannya, Sultan Hamengku Buwono IX menjawab:
“Menurut kepercayaan lama memang demikianlah halnya. Saya menyebutnya Eyang Rara Kidul saja. Dan saya pernah mendapat kesempatan "melihatnya" setelah menjalani ketentuan yang berlaku seperti berpuasa selama beherapa hari dan sebagainya. Pada waktu bulan naik, Eyang Rara Kidul akan tampak sebagai gadis yang amat cantik; sebaliknya apabila bulan menurun, ia tampil sebagai wanita yang makin tua.”
Ketimbang “istri”, pada anak cucu penerus Panembahan Senapati setelah memasuki abad ke-20, posisi KRK tampaknya lebih berfungsi sebagai pepunden atau pamomong, atau sebutlah itu leluhur. Demikianlah catatan Jhon Pemberton dalam bukunya On The Subject of Java perihal cerita popular di Solo. Masyarakat Solo beranggapan raja sebagai “suami” KRK hanya sampai masa Paku Buwono IX.
Konon, diceritakan Paku Buwono X suatu ketika tengah naik ke Panggung Sanggabuwono. Tempat ini merupakan ruang pertemuan antara KRK dan Susuhunan. Di dalam bilik itu disediakan kursi dan pakaian serta sesaji untuk KRK. Diceritakan suatu saat PB X terpeleset saat menaiki tangga bangunan itu, dan KRK berucap kaget: “….Ooo, kepiye ngger!?” (Ooo, bagaimana kau nak!?). Nah, gara-gara dipanggil “ngger” itulah, Paku Buwono X tak pernah lagi dianggap sebagai “suami” KRK.
Pemberton juga memiliki catatan lain yang menarik. Paku Buwono yang memerintah pada 1823--1830, seperti diketahui dibuang ke Ambon oleh Pemerintah Hindia Belanda karena ketahuan mendukung pemberontakan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825--1830). Pemberton mencatat, salah satu alasan kuat Belanda untuk membuang Susuhunan ini dikarenakan dia diketahui sering “berkunjung dan menemui” KRT hingga mendapat tuduhan tengah merencanakan sebuah makar.
Menarik juga dicermati, sekalipun keberadaan KRK katakanlah lekat dengan sejarah wangsa Mataram-Islam, ritus sedekah laut bukan hanya dilakukan oleh institusi keraton. Melainkan, juga dilaksanakan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir selatan Pulau Jawa. Ini artinya, masyarakat luas juga merasa memiliki KRK sebagai penguasa dan pelindung hidup mereka.
Itulah sebabnya pelbagai ritus terhadap KRK nisbi sering dilakukan oleh orang Jawa. Dari yang sifatnya pribadi hingga yang sifatnya kolektif atau massal. Pewaris Mataram-Islam, sebutlah Kasultanan di Yogyakarta, hingga kini setahun sekali masih melaksanakan upacara labuhan.
Kata labuhan berarti membuang barang-barang tertentu di laut atau kawah gunung sebagai sesaji. Barang yang dilabuh, antara lain, seperangkat pakaian untuk KRK. Pakaian dan kebutuhan wanita itu berupa kain panjang, semekan atau kain tutup dada, tusuk konde dan berbagai macam pakaian wanita beserta perlengkapan lain seperti param, ratus, minyak cendana, dan kepingan uang logam.
Bukan hanya ritus labuhan, kraton juga mengenal ritus sakral lain berupa pementasan Tari Bedhaya Ketawang. Menurut Kitab Wedhapradangga, pencipta tarian ini adalah Sultan Agung, raja paling agung yang berkuasa pada 1613--1645. Meskipun demikian kepercayaan tradisional meyakini, tarian ini diciptakan oleh KRK sendiri. Wajar saja, tarian ini bukan hanya semata sakral, tapi juga bahkan dianggap sebagai pusaka.
Menariknya, Sunan Kalijaga sebagai juru syiar Islam di tanah Jawa juga ikut memberikan patokan-patokan saat menciptakan titi nada gending tarian tersebut. Titi nada gamelan itu disebut diberi nama Gending Ketawang Gedhe berlaras pelog pathet 5.
Tari ini melukiskan proses jatuh cintanya KRK pada Panembahan Sanapati. Segala gerakannya melukiskan bujuk rayu dan cumbu birahi. Untuk itu KRT memohon Sinuhun tidak tergesa pulang, namun Sinuhun tidak mau. Dia masih ingin mencapai “sangkan paran dumadi”, yaitu hakikat kemanunggalan diri dengan Tuhan.
Namun Panembahan Senapati berkenan memperistri KRT, bahkan janji hingga turun-temurun. Siapa saja keturunannya yang bertahta di tanah Jawa akan mengikat janji dengan KRT pada detik kenaikan tahtanya (jumenengan nata). Karena itulah tarian sakral ini hanya ditarikan ketika pelantikan raja atau peringatan momen tersebut di setiap tahunnya.
Konon, saat tarian sakral ini ditarikan KRT selalu hadir dan turut menari di antara sembilan penari lainnya. Bahkan KRT jugalah yang konon mengajar secara langsung Tari Bedhaya Ketawang pada penari-penari kesayangan raja tersebut. (W-1)
Sri Gusti Kanjeng Ratu Kidul (bahasa Jawa: ꧋ꦱꦿꦶꦒꦸꦱ꧀ꦠꦶꦏꦚ꧀ꦗꦼꦁꦫꦠꦸꦏꦶꦢꦸꦭ꧀) adalah tokoh legenda yang sangat populer di kalangan masyarakat Pulau Jawa yaitu Jawa Barat , Jawa Tengah , Jawa Timur dan pulau Bali. Sosok ini secara umum sering disamakan dengan Nyi Roro Kidul, meskipun sebenarnya dia berdua sangatlah berbeda. Pada umumnya dia menampakkan diri hanya untuk memberi isyarat / peringatan akan datangnya suatu kejadian penting. [1] Dalam mitologi Jawa, Kanjeng Ratu Kidul merupakan ciptaan dari Dewa Kaping Telu. Ia mengisi alam kehidupan sebagai Dewi Padi (Dewi Sri) dan dewi-dewi alam yang lain. Sedangkan Nyi Rara Kidul awalnya merupakan putri Kerajaan Sunda yang diusir ayahnya karena ulah ibu tirinya. Cerita-cerita yang terkait antara "Ratu Kidul" dengan "Rara Kidul" bisa dikatakan berbeda fase tahapan kehidupan menurut mitologi Jawa.
Kanjeng Ratu Kidul memiliki kuasa atas ombak keras samudra Hindia dari istananya yang terletak di jantung samudra. Menurut kepercayaan Jawa, ia merupakan pasangan spiritual para Raja dari Mataram Hingga para Raja keturunannya di Surakarta dan Jogja, dimulai dari Panembahan Senapati. Namun, kini ia dipandang sebagai ibu spiritual para Susuhunan Surakarta maupun sultan jogja. Kedudukannya berhubungan dengan Hutan Krendhawahana dalam pewayangan disebut Alas Setragandamayit/Dandangmagore Kahyangan atau tempat tinggal bersemayam berstananya Batari Durga Permoni
(Ratunya penguasa para makhluk halus tak kasat mata dengan nama demit,Jin,Setan,Hantu,Prewangan,Demit,Ilu- Ilu ,Banaspati , Wedon ,Jerangkong dan lain lain yang berkaitan dengan bau mistis gaib ), Keraton-Laut Selatan yang berpusat di Keraton Kasunanan Surakarta. Pengamat sejarah kebanyakan beranggapan, keyakinan akan Kanjeng Ratu Kidul memang dibuat untuk melegitimasi kekuasaan dinasti Mataram.
Karaton Surakarta menyebutnya sebagai Sri Gusti Kanjeng Ratu Ayu Kencono Sari atau Sri Gusti Kanjeng Ratu Ayu Keconohadisari[2] Ia dipercaya mampu untuk berubah wujud menjadi mak lampir beberapa kali dalam sehari.[3] Sultan Hamengkubuwana IX menggambarkan pengalaman pertemuan spiritualnya dengan sang Ratu; ia dapat berubah wujud dan penampilan, sebagai seorang wanita muda biasanya pada saat bulan purnama, dan sebagai wanita tua di waktu yang lain.[4] Babad Dipanegara menceritakan kedatangan Ratu Kidul selalui didahului pancaran sebesar sinar (daru).[5]
Legenda mengenai penguasa mistik laut selatan ini tidak diketahui dengan pasti sejak kapan dimulai. Namun, legenda ini mencapai puncak tertinggi karena pengaruh kalangan penguasa keraton dinasti Mataram Islam (Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kesultanan Jogja). Dalam kepercayaan tersebut, Kanjeng Ratu Kidul merupakan "istri spiritual" bagi raja-raja kedua keraton tersebut. Pada saat tertentu, keraton memberikan persembahan di Pantai Parangkusuma, Bantul, Pantai Parangtritis Bantul dan di Pantai Paranggupita, Wonogiri. Panggung Sanggabuwana artinya dalam artian Bahasa Indonesia yaitu Panggung Penyangga dunia atau Jagad Raya di kompleks Karaton Kasunanan Surakarta dan Panggung Krapyak di Keraton Yogyakarta Hadiningrat dipercaya merupakan tempat bercengkerama antara
Sri Gusti Kanjeng Sinuwun Susuhunan Pakubuwowono hingga Sri Gusti Kanjeng Sinuwun Sultan Hamengkubuwono (raja) dengan Kanjeng Ratu. Konon, Sang Ratu tampil sebagai perempuan muda dan cantik pada saat bulan muda hingga purnama, terapi berangsur-angsur menua pada saat bulan menuju bulan mati.
Dalam keyakinan orang Jawa, Kanjeng Ratu Kidul memiliki pembantu setia bernama Nyai atau Nyi Rara Kidul. Nyi Rara Kidul menyukai warna hijau dan dipercaya suka mengambil orang-orang yang mengenakan pakaian hijau yang berada di pantai wilayahnya untuk dijadikan pelayan atau pasukannya. Karena itu, pengunjung pantai wisata di selatan Pulau Jawa, baik di Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Cilacap, pantai-pantai di selatan Yogyakarta, hingga Semenanjung Purwa di ujung timur, selalu diingatkan untuk tidak mengenakan pakaian berwarna hijau.
Di kalangan masyarakat Sunda, Ratu Kidul merupakan titisan dari seorang putri Pajajaran yang bunuh diri di laut selatan karena diusir oleh keluarganya karena ia menderita penyakit yang membuat anggota keluarga lainnya malu. Dalam kepercayaan Jawa berkembang anggapan bahwa tokoh ini bukanlah Ratu Laut Selatan yang sesungguhnya, melainkan diidentikkan dengan Nyi Rara Kidul, pembantu setia Kanjeng Ratu Kidul. Hal ini berdasarkan dugaan bahwa Ratu Kidul berusia jauh lebih tua dan menguasai Laut Selatan jauh lebih lama sebelum sejarah Kerajaan Pajajaran
Menurut pengalaman seorang spiritualis pada tahun 1998, ia bertemu dengan Kanjeng Ratu Kidul di pantai Parang Tritis, Yogyakarta. Saat itu, Eyang Ratu Kidul didampingi oleh Nyi Rara Kidul. Keduanya persis tetapi Eyang Ratu Kidul kulitnya kuning langsat, sementara Nyi Rara Kidul agak coklat. Selain itu, Eyang ratu Kidul mempunyai aura putih jernih dan gemerlapan seperti berlian, bulat mengelilingi seluruh tubuhnya. Sedangkan aura Nyi Rara Kidul berwarna putih susu seperti cahaya lampu putih, tipis putih mengikuti postur tubuhnya. Ia diberi penjelasan bahwa Nyi Rara Kidul adalah patih atau kepala pengawalnya. Nyi Rara Kidul adalah makhluk halus jenis jin yang mengabdi dan berguru kepada Eyang ratu. Nyi Rara Kidul ditugaskan untuk mengontrol dan meredam angkara murka dari makhluk-makhluk gaib jenis jin dan kekuatan gaib serta ilmu gaib yang berada disepanjang pantai selatan Pulau Jawa.
Dalam Serat Darmogandhul, sebuah karya sastra Jawa Baru yang menceritakan jatuhnya Majapahit akibat serbuan Kerajaan Demak, Ni Mas Ratu Anginangin adalah ratu seluruh makhluk halus di pulau Jawa dan memiliki kerajaan di laut selatan. Hampir seluruh isi Serat Darmagandul merupakan bentuk turunan dari cerita babad Kadhiri.
Samuksone Sang Prabu Joyoboyo lan putrane putri kang aran Ni Mas Ratu Pagêdhongan, Buta Locoyo lan kiyai Tunggulwulung ugo podho muksa; Ni Mas Ratu Pagêdhongan dadi ratuning dhêmit nuso Jowo, kuthone ono segoro kidul sarto jêjuluk Ni Mas Ratu Anginangin. Sakabehe lêlêmbut kang ono ing lautan dharatan sarta kanan keringe tanah Jowo, kabeh podho sumiwi marang Ni Mas Ratu Anginangin. ꧋ꦱꦩꦸꦏ꧀ꦱꦺꦴꦤꦺꦱꦁꦥꦿꦧꦸꦗꦺꦴꦪꦺꦴꦧꦺꦴꦪꦺꦴꦭꦤ꧀ꦥꦸꦠꦿꦤꦺꦥꦸꦠꦿꦶꦏꦁꦄꦫꦤ꧀ꦤꦶꦩꦱ꧀ꦫꦠꦸꦥꦒꦼꦣꦺꦴꦔꦤ꧀ꦧꦸꦠꦭꦺꦴꦕꦺꦴꦪꦺꦴꦭꦤ꧀ꦏꦶꦪꦻꦠꦸꦁꦒꦸꦭ꧀ꦮꦸꦭꦸꦁꦈꦒꦺꦴꦥꦺꦴꦣꦺꦴꦩꦸꦏ꧀ꦱ;ꦤꦶꦩꦱ꧀ꦫꦠꦸꦥꦒꦼꦣꦺꦴꦔꦤ꧀ꦝꦣꦶꦫꦠꦸꦤꦶꦁꦣꦼꦩꦶꦠ꧀ꦤꦸꦱꦺꦴꦗꦺꦴꦮꦺꦴ꧈ꦏꦸꦛꦺꦴꦤꦺꦎꦤꦺꦴꦱꦼꦒꦺꦴꦫꦺꦴꦏꦶꦢꦸꦭ꧀ꦱꦂꦠꦺꦴꦗꦼꦗꦸꦭꦸꦏ꧀ꦤꦶꦩꦱ꧀ꦫꦠꦸꦄꦔꦶꦤꦔꦶꦤ꧀꧈ꦱꦏꦧꦺꦲꦺꦊꦊꦩ꧀ꦧꦸꦠ꧀ꦏꦁꦎꦤꦺꦴꦆꦁꦭꦻꦴꦠꦤ꧀ꦝꦫꦠꦤ꧀ꦱꦂꦠꦏꦤꦤ꧀ꦏꦼꦫꦶꦔꦺꦠꦤꦃꦗꦺꦴꦮꦺꦴ꧈ꦏꦧꦺꦃꦥꦺꦴꦣꦺꦴꦱꦸꦩꦶꦮꦶꦩꦫꦁꦤꦶꦩꦱ꧀ꦫꦠꦸꦄꦔꦶꦤꦔꦶꦤ꧀꧈
Saat moksanya Sang Prabu Jayabaya dan putrinya yang bernama Ni Mas Ratu Pagedhongan, Buta Locaya dan Kyai Tunggul Wulung juga sama-sama moksa. Ni Mas Ratu Pagedhongan menjadi ratu makhluk halus pulau Jawa, kotanya berada di laut selatan serta dijuluki Ni Mas Ratu Anginangin. Seluruh makhluk halus yang ada di lautan daratan serta kanan-kirinya tanah Jawa, semua sama-sama takluk kepada Ni Mas Ratu Anginangin.
Serat Centhini juga menyebut nama Ratu Anginangin sebagai pemilik istana di laut selatan. Buaya putih penjelmaan Prabu Dewatacengkar, raja Medang Kamulan sebelum kedatangan Aji Saka, adalah musuhnya. Ia memberi gelar Jaka Linglung yang saat itu masih belum memiliki nama sebagai Linglung Tunggulwulung dan menjodohkannya dengan Nyai Blorong. Serat Centhini menulis kesediaan Ratu Anginangin menjadi tunangan Aji Saka atas perantaraan Jaka Linglung.[6]
Sebuah cerita rakyat dari Jawa Barat menceritakan seorang penerawang pria bernama Ajar Cemara Tunggal dari Gunung Kombang di Kerajaan Pajajaran. Sebenarnya, ia adalah seorang wanita cantik, bibi buyut dari Raden Jaka Suruh. Ia mengubah dirinya menjadi dukun dan memberitahu Raden Jaka Suruh untuk menuju timur pulau Jawa dan mendirikan kerajaan di lokasi sebuah pohon maja yang hanya memiliki buah satu butir. Karena buah maja rasanya pahit, kerajaan yang didirikannya bernama Majapahit. Cemara Tunggal berjanji akan menikahi pendiri Majapahit dan setiap penerus dari garis keturunan yang sulung untuk membantu mereka dalam setiap permasalahan. Roh Cemara Tunggal dianggap menjadi "ratu-lelembut dari selatan" yang menguasai seluruh lelembut.[7]
Legenda Jawa dari abad ke-16 menyatakan Kanjeng Ratu Kidul sebagai pelindung dan pasangan spiritual para raja Kerajaan Mataram. Panembahan Senapati (1586-1601 M), pendiri Kesultanan Mataram, dan cucunya Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645 M) menyebut Kanjeng Ratu Kidul sebagai mempelai mereka. Hal tersebut tertuang dalam Babad Tanah Jawi.[8]
Menurut legenda, pangeran Panembahan Senopati berkeinginan untuk mendirikan sebuah kerajaan yang baru, yaitu Kesultanan Mataram, untuk melawan kekuasaan Kesultanan Pajang. Ia melakukan tapa di pantai Parang Kusumo yang terletak di selatan kediamannya di Kota Gede. Meditasinya menyebabkan terjadinya fenomena supernatural yang mengganggu kerajaan di Laut Selatan. Sang Ratu datang ke pantai untuk melihat siapa yang menyebabkan gangguan di kerajaannya. Saat melihat pangeran yang tampan, ia jatuh cinta dan meminta Panembahan Senopati untuk menghentikan tapanya. Sebagai gantinya, sang Ratu penguasa alam spiritual di laut selatan setuju untuk membantunya dalam mendirikan kerajaan yang baru. Untuk menjadi pelindung spiritual kerajaan tersebut, sang Ratu dilamar oleh Panembahan Senopati untuk menjadi pasangan spiritualnya serta semua penggantinya nanti, yaitu para raja Mataram.
Babad Dipanegara mengisahkan pertemuan antara Ratu Kidul dengan Pangeran Diponegoro sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 1805 dan pertengahan Juli 1826. Pertemuan pertama terjadi di Gua Langse, Pantai Parangtritis di selatan Yogyakarta, pada saat Pangeran Diponegoro tengah bersamadi sehingga Ratu Kidul tidak berkeinginan untuk mengganggu. Pertemuan kedua berlangsung pada saat terjadinya Perang Diponegoro (1825-1830). Pada pertemuan kedua, Ratu Kidul yang ditemani dua patihnya -yaitu Nyi Roro Kidul dan Raden Dewi- menawarkan bantuan dalam perang tetapi dengan syarat Pangeran Diponegoro bersedia memohon kepada Allah Ingkang Rabulngalimin agar Ratu Kidul diperkenankan kembali menjadi manusia. Namun, Pangeran Diponegoro menolak dengan halus dengan alasan bahwa pertolongan hanya datang dari Hyang Agung sehingga ia tidak akan bersekutu dengan makluk gaib. Hal ini sesuai dengan tujuan utamanya untuk berperang, yaitu untuk memajukan agama Islam di seluruh Jawa.[5]
Naskah tertua yang menyebut-nyebut tentang tokoh mistik ini adalah Babad Tanah Jawi.[9] Panembahan Senopati adalah orang pertama yang disebut sebagai Raja yang menyunting Sang Ratu Kidul. Dari kepercayaan ini diciptakan Tari Bedhaya Ketawang dari kraton Kasunanan Surakarta (pada masa Sunan Pakubuwana I), yang digelar setiap tahun pada Upacara Ageng kenaikan Tahta Sri Sunan atau disebut Jumenengan , yang dipercaya sebagai persembahan kepada Kanjeng Ratu Kidul. Sunan duduk di samping kursi kosong yang disediakan bagi Sang Ratu Kidul.
Pelabuhan Ratu adalah sebuah kota nelayan di Jawa Barat. Masyarakat setempat menyelenggarakan hari suci khusus untuk Kanjeng Ratu Kidul setiap tanggal 6 April. Hari tersebut merupakan hari peringatan bagi penduduk lokal dan mereka memberikan banyak persembahan untuk menyenangkan sang Ratu. Para nelayan lokal juga menyelenggarakan ritual sedekah laut setiap tahunnya, memberikan persembahan seperti nasi, sayuran, dan berbagai produk pertanian, hingga ayam, tenunan batik, dan kosmetik. Persembahan tersebut dilarungkan ke laut sebagai persembahan untuk Ratu. Para nelayan lokal percaya persembahan mereka akan menyenangkan Ratu Laut Selatan sehingga ia akan memberkahi mereka dengan hasil tangkapan yang berlimpah serta memberikan cuaca yang bagus, tidak terlalu banyak badai serta ombak.[10]
Di sekitar lokasi Pantai Palabuhanratu, tepatnya di Karang Hawu, terdapat petilasan (persinggahan) Ratu Pantai Selatan yang dapat dikunjungi untuk melakukan ritual tertentu ataupun hanya sekadar melihat-lihat. Di komplek keramat ini terdapat sekurangnya dua ruangan besar yang didalamnya terdapat beberapa makam yang dipercaya penduduk sebagai makam Eyang Sanca Manggala, Eyang Jalah Mata Makuta, dan Eyang Syeh Husni Ali. Di beberapa ruangan juga terpampang gambar penguasa Laut Selatan.
Kanjeng Ratu Kidul juga diasosiasikan dengan Parangtritis, Parangkusumo, Pangandaran, Karang Bolong, Ngliyep, Puger, Banyuwangi, dan berbagai tempat di sepanjang pantai selatan Jawa[10] seperti Tulungagung.
Pantai Parangkusumo dan Parangtritis di Yogyakarta sangat berhubungan dengan legenda Kanjeng Ratu Kidul. Parangkusumo merupakan tempat Panembahan Senapati bertemu Kanjeng Ratu Kidul. Saat Sultan HB IX meninggal tanggal 3 Oktober 1988, majalah Tempo menulis bahwa para pelayan keraton melihat penampakan Kanjeng Ratu Kidul untuk menyampaikan penghormatan terakhirnya kepada sri sultan.[11]
Masyarakat nelayan pantai selatan Jawa setiap tahun melakukan sedekah laut sebagai persembahan kepada sang Ratu agar menjaga keselamatan para nelayan dan membantu perbaikan penghasilan. Upacara ini dilakukan nelayan di pantai Pelabuhan Ratu, Ujung Genteng, Pangandaran, Cilacap, Sakawayana dan sebagainya. Sebagian besar para wisatawan yang berkunjung baik itu lokal maupun manca negara datang ke Pelabuhan Ratu karena keindahan panoramanya sekaligus tradisi ritual ini. Disaat-saat tertentu banyak acara ritual yang sering digelar penduduk setempat sebagai rasa terima kasih mereka terhadap sang penguasa laut selatan.
Pemilik hotel yang berada di pantai selatan Jawa dan Bali menyediakan ruang khusus bagi Sang Ratu. Yang terkenal adalah Kamar 327 dan 2401 di Hotel Grand Bali Beach. Kamar 327 adalah satu-satunya kamar yang tidak terbakar pada peristiwa kebakaran besar Januari 1993. Setelah pemugaran, Kamar 327 dan 2401 selalu dirawat, diberi hiasan ruangan dengan warna hijau, diberi suguhan (sesaji) setiap hari, tidak untuk dihuni dan khusus dipersembahkan bagi Ratu Kidul. Hal yang sama juga dilakukan di Hotel Samudra Beach di Pelabuhan Ratu. Kamar 308 disiapkan khusus bagi Ratu Kidul. Di Yogyakarta, Hotel Queen of The South di dekat Parangtritis mereservasi Kamar 33 bagi Sang Kanjeng Ratu.
Hotel Samudra Beach Hotel, Pelabuhan Ratu, Jawa Barat, menyediakan kamar 308 yang dicat berwarna hijau untuk Kanjeng Ratu Kidul.[12] Setidaknya pada awal tahun 1966,[13] presiden pertama Indonesia, Sukarno, terlibat dalam penentuan lokasi serta ide Hotel Samudra Beach Hotel. Di depan kamar 308 terdapat pohon Ketapang tempat Sukarno memperoleh inspirasi spiritualnya.[14] Di dalam kamar tersebut juga dipasang lukisan terkenal "Nyai Rara Kidul" oleh Basuki Abdullah.
Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, sosok Ratu Kidul merupakan sosok agung yang dimuliakan dan dihormati. Masyarakat Jawa mengenal istilah "telu-teluning atunggal" ("tiga sosok yang menjadi satu kekuatan"), yaitu Eyang Resi Projopati, Panembahan Senopati, dan Ratu Kidul. Panembahan Senopati merupakan pendiri kerajaan Mataram Islam yang bertemu dengan Ratu Kidul ketika bertiwikrama sesuai arahan Sunan Kalijaga untuk memperoleh wangsit. Saat itu, ia bermaksud membangun sebuah keraton pada sebuah tempat yang sebelumnya sebuah hutan bernama "alas mentaok" (kini Kotagede di Daerah Istimewa Yogyakarta). Saat ia bertapa, semua alam menjadi kacau, ombak besar, hujan badai, gempa, dan gunung meletus. Ratu Kidul setuju membantu dan melindungi Kerajaan Mataram, bahkan dipercaya menjadi "istri spiritual" bagi Raja-raja trah Mataram Islam.
Penghormatan serta pemuliaan kepada Kanjeng Ratu Kidul juga terdapat pada sebuah kelenteng yang terletak di Semarang, TITD. YUE YANG TANG, di jalan Rejosari Tengah II/28-30 Semarang, juga di Jakarta, yaitu di bilangan Pekojan, Jakarta Barat, yaitu di Vihara Kalyana Mitta.[15] Terdapat kepercayaan bahwa mitos mengenal Nyi Rara Kidul (dalam hal ini, nama Nyai Rara Kidul hanya menjadi panggilan populer Kanjeng Ratu Kidul) berasal dari kepercayaan Siwa-Buddha di Indonesia, yaitu kepercayaan kepada Tara (Bodhisatwa).[16]
Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.
Wenn dies deiner Meinung nach nicht gegen unsere Gemeinschaftsstandards verstößt,
Buku ini tersusun dari kumpulan tulisan ringan berbobot oleh 70 Guru Besar Universitas Gadjah Mada sesuai dengan kepakaran masing-masing. Substansi beragam sumbangan pemikiran Guru Besar dalam menanggapi persoalan yang ada di masyarakat, dikelompokkan ke dalam ketegori: bencana; kesehatan; pertanian; ternak; pendidikan-psikologi-kependudukan, politik-pembangunan; dan energi. Dalam buku ini diantaranya dituturkan bagaimana arus robek di laut selatan harus diwaspadai dengan pelampung, tidak hanya menyalahkan Nyai Roro Kidul (The Queen of The South Sea) yang menginginkan tumbal dan menjawab dengan lantang: ”Jangan salahkan aku!!!”—yang juga menjadi judul buku ini.
Kanjeng Ratu Kidul adalah ekspresi ideal penggambaran wanita perkasa. Dirinya adalah Ratu Pantai Selatan. Sosoknya juga dianggap juru selamat yang menjaga eksistensi Kerajaan Mataram.
Pada Babad Tanah Jawa, hubungan antara Kerajaan Mataram dengan Ratu Pantai Selatan ini bermula saat Danang Sutawijaya/Panembahan Senopati bertapa di Parangkusumo. Dikisahkan, Ratu Kidul berjanji membantu mengabulkan keinginannya dan membantu Danang Sutawijaya untuk menjadi raja. Juga menjaga ketentraman rakyat Mataram hingga turun temurun.
"Panembahan Senopati diajak Kanjeng Ratu Kidul ke istana Keraton Laut Selatan di dasar samudera, lalu terjalinlah cinta dan itu merupakan awal kisah pernikahan spiritual antara Kanjeng Ratu Kidul dan Danang Sutawijaya," jelas Siti, Sabtu (15/8/2020), dilansir Antara.
Baca juga Nyi Roro Kidul, Inspirasi Karakter Baru Mobile Legends
Kanjeng Ratu Kidul memiliki nama asli Dewi Retno Suwodo seorang putri dari Raja Pajajaran. Dirinya diusir dari kerajaan karena menderita penyakit akibat diguna-guna oleh penyihir dan membuat malu anggota keluarga.
Karena merasa kecewa dan sedih, akhirnya dia mengakhiri hidupnya dengan cara menceburkan diri ke Pantai Selatan. Jika masyarakat Sunda menyebut bahwa putri tersebut Kanjeng Ratu Kidul, namun menurut masyarakat Jawa, justru putri itu bukanlah sang kanjeng ratu, melainkan pesuruhnya yang dikenal juga dengan nama Nyi Roro Kidul.
Legenda penguasa Laut Selatan memang banyak tersebar di seluruh daerah Indonesia. Pada etnis Sasak di Pulau Lombok, saat ini masih menyimpan sebuah legenda yang bernilai sakral tinggi tentang Putri Mandalika.
Masyarakat Sumatra Utara dan Aceh juga mengenal sebuah legenda bahureksa lautan yang perkasa. Dikenal sebagai legenda Putri Hijau. Sementara itu di Kepulauan Maluku, misalnya, dikenal keberadaan Ina Kabuki, ratu yang bertahta di dasar Teluk Kayeli.
Masyarakat Lamalera di Flores, tak kecuali. Mereka menyebut laut sebagai “Ina Fae Belé” yang artinya Ibunda yang maharahim, “Ina Lefa” (Bunda Lautan). Mitos ini, langsung atau tidak memang memiliki korelasi kuat dengan jejak-jejak sejarah Indonesia sebagai bangsa bahari.
Munculnya simbolisasi “perkawinan spiritual” antara Kanjeng Ratu Kidul dengan raja-raja Mataram juga dianggap menjadi penanda masih adanya poros imaginer kesatuan antara darat dan laut. Istilah Tanah Air sebagai sinonim menyebut bangsa ini jelas lahir dari khazanah tersebut.
Simbolisasi Indonesia sebagai bangsa bahari
Latar belakang Indonesia sebagai negara kepulauan bukan tak mungkin telah memantik kemunculan mitos Dewi Laut. Tak dimungkiri memang, dua pertiga wilayah Indonesia memang berupa lautan dengan 17.504 pulau yang tersebar (data BPS 2016).
Menyimak konteks ekologis ini, mudah diterka corak kebudayaan yang mengacu pada lautan tertentu yang pernah menjadi orientasi utama dari pandangan dunia (weltanscahauung) masyarakat penghuninya.
Merujuk artikel berjudul ''BerbagaiMitos Tentang Laut: Mengungkap Konsep Bahari Bangsa Indonesia'' karya Yoseph Yapi Taum (2013), menurutnya, dalam pandangan berbagai etnis di Indonesia, laut pada umumnya dipandang sebagai “ibu”.
Berbeda dengan mitologi Hindu yang memandang laut sebagai laki-laki atau maskulin, di Indonesia sosok bahureksa laut mendapat artikulasi feminim dan mengambil bentuk sosok perempuan.
Baca jugaMemahami Narasi Rohani dari Wayang Purwa Yogyakarta (Dumadining Gunung Merapi)
Keberadaan perempuan sebagai penjaga alam dalam sosok Kanjeng Ratu Kidul menunjukkan bahwa perempuan diyakini sebagai sumber kehidupan, perempuan sebagai ibu kehidupan, Ibu Pertiwi.
Selain itu, Kanjeng Ratu Kidul sebagai penguasa samudra menunjukkan bahwa sosok ibu sebagai pemberi cinta dan kehidupan yang ada di lautan. Tanpanya, Panembahan Senapati tidak akan bisa menjadi raja Mataram.
Hubungan ini pun dipertahankan melalui tradisi tahunan bernama labuhan. Acara itu adalah upacara mengirim hadiah kepada Ratu Kidul lewat atas rakit yang dibiarkan dibawa ombak menuju Samudra Hindia.
Upacara dilakukan atas perintah Raja Yogyakarta. Melalui tradisi itu pula, orang-orang memahami pertalian antara para penguasa di dunia manusia dengan Kanjeng Ratu Kidul sebagai salah satu penguasa dunia gaib.
Sesajen labuhan biasanya terdiri dari kain parang rusak awisan-dalem dengan kemben hijau (kain cangkring, sumekan gaadung) dan batik pola hijau-putih bernama gadung mlati, yang merupakan nama roh halus pelindung Pantai Parangtritis (Nyai Gadung Melati).
Warna hijau jadi unsur penting dalam sesajen, karena diyakini sebagai warna kesukaan Ratu Kidul. Segala sesajen itu biasanya disiapkan pihak Keraton Yogyakarta.
Uniknya, batik gadung mlati sering digunakan para penari di Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta saat memainkan tarian suci Bedoyo Ketawang (Kesunanan) ataupun Bedoyo Semang (Kesultanan), diyakini merupakan salah satu ritual kuno, yakni untuk mengundang roh halus Ratu Kidul untuk datang dan bersetubuh dengan raja.